THE ART OF UNDERSTANDING
Oleh : SUPARDI
Religious Studies
Email: supardi.babakan@gmail.com
Judul:Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai DerridaPenulis:F. Budi HardimanPenerbit :PT Kanisius, 2018Halaman :27-60
Ada lima sub bahasan untuk mengurai pemikiran Schleiermacher tentang hermeneutika yaitu (1) Seni memahami; (2) Pendasaran hermeneutik universal; (3) Masuk ke dalam “kulit” penulis; (4) Lingkaran hermeneutis, dan (5) Memahami teks lebih baik daripada penulisnya.
Hermeneutika: Seni Memahami yang Universal
Budi Hardiman memulai uraian hermeneutik Schleiermacher sebagai sebuah seni memahami. Secara eksplisit, Schleiermacher mendefinisikan hermeneutika sebagai the art of understanding rightly another man’s language, particularly his written language (seni memahami bahasa orang lain secara benar, khususnya bahasa tulis).
Aktifitas memahami adalah kegiatan sehari-hari manusia ketika berinteraksi dengan orang lain. Namun, di sini perlu dibedakan antara memahami secara spontan dan memahami sebagai upaya. Pada intinya, memahami adalah proses menangkap makna dalam bahasa bahkan lebih luas lagi makna yang terkadung pada simbol atau teks (p. 31).
Persoalan mendasar pada proses memahami ini adalah pada keunikan manusia itu sendiri saat memproduksi bahasa. Dalam proses produksi ini sering terjadi kesenjangan antara teks yang diucapkan dengan apa yang dipikirkannya, antara teks dan maksud yang dikehendaki, antara kata dan maknanya dan antara simbol dengan acuannya (p. 32).
Kesenjangan ini, akan semakin lebar dan tajam saat berada pada lingkup perbedaan bahasa, kultur, dan rentang waktu antara penutur, bahasa, dan pendengarnya. Pada gilirannya, kesenjangan ini melahirkan kesalahan-kesalahan dalam memahami atau dalam ungkapan Schleiermascher “sebagai hal yang pasti terjadi”.
Menurutnya, kesalahpahaman ini merupakan karakteristik masyarakat modern dan terus berulang sebab masyarakat lebih memprioritaskan prasangka (Vorurteil) pribadi yang bersifat subjektif untuk menangkap makna, isi, dan maksud sang penulis (p. 33). Berkembangnya prasangka pribadi menyebabkan maksud utama sang penulis terhalang dan sulit ditangkap secar utuh. Oleh karena itu, perlu ada ‘kepiawaian’ dalam kegiatan memahami ini yang disebut Schleiermacher sebagai seni berpikir dan sudah barang tentu lebih filosofis (p. 34-35).
Pokok pikiran Schleiermacher selanjutnya adalah membebaskan hermeneutika dari “cangkangnya” sebagai alat interpretasi terhadap teks-teks khusus baik teks kuno maupun teks “suci”. Pada aras praktiknya, seni memahami muncul beragam sesuai dengan objek pemahamannya. Praktik seperti berlaku pada fase hermeneutika tradional di mana hermeneutika dipilah menjadi hermeneutica sacra yang berhubungan dengan kitab suci dan hermeneutika profana yang berkaitan dengan teks pada umumnya.
Di tengah pengarusutamaan dan pembatasan hermeneutika pada disiplin tertentu bertentangan dengan konsep awal Schleiermacher bahwa hermeneutika adalah seni memahami sehingga mengharuskan ada titik temu antar berbagai wujud hermenutika khusus itu. “Hermeneutika sebagai seni memahami, tidak ada sebagai sebuah bidang umum, yang ada hanyalah berbagai macam hermeneutik khusus” tutur Schleiermacher (h. 38).
Pada titik ini, Scheleiermacher tampak terpengaruh oleh pemikiran Plato tentang konsep idea. Bagi Plato, dunia dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, dunia persepsi, dunia penglihatan, suara, dan benda-benda individual. Bagian kedua, alam di atas alam benda, yakni alam konsep, ide, universal atau esensi yang abadi. Bagi Plato, ide-ide adalah contoh yang transenden dan genuine. Sedangkan yang tampak bagi manusia adalah bayangan dari ide asli tersebut.
Lingkaran Hermeneutik (Hermeneutic Circle)
Ada dua tokoh yang mengilhami Schleiermacher dalam proyek pemikirannya ini, Friedrich Ast (1778-1841) dan Friedrich August Wolf (1759-1824). Keduanya adalah filolog yang meneliti teks-teks kuno warisan Yunani Romawi Kuno (p. 35).
F. Ast memandang bahwa tugas utama seorang filolog adalah menangkap roh (geist) Yunani dan Romawi Kuno. Istilah roh disini berarti mengungkap seluruh aspek mental-intelektual kebudayaan, misalnya, sistem tata nilai, moralitas yang dianut, alam pikir, dan lain sebagainya (p. 36). Berangkat dari sini, Ast menganggap bahwa proses memahami adalah usaha untuk mengulang kembali proses kreatif.
Secara spesifik F. Ast membagi tugas ini ke dalam tiga pemahaman. Pertama, pemahaman historis, yaitu kegiatan memahami isi sebuah karya, baik berupa karya artistik, saintis, atau karya umum lainnya; kedua, pemahaman gramatis, yaitu pemahaman yang berkaitan dengan aspek kebahasaan; dan ketiga, pemahaman geistige, yaitu pemahaman karya yang utuh dari sang pengarang dan pandangan utuh pada masa karya itu dikarang.
Sementara itu, konsep Hermeneutika Wolf lebih fokus pada pikiran dalam tulisan pengarang sesuai dengan apa yang diinginkan. Untuk mencapai ke arah tersebut, Wolf memberikan tiga level hermeneutika. Pertama, interpretalatio grammatical (gramatis), yakni berkaitan dengan pemahaman kebahasaan, kedua, historica yang berkaitan dengan fakta sejarah dan pengetahuan factual dari kehidupan pengarang agar sampai pada pengetahuan pengarang, ketiga, philosophica, yang digunakan sebagai uji logika terhadap dua level sebelumnya.
Dari dua tokoh Filologi ini, Schleiermacher mendapat pengaruh pada dua dimensi. Dari Ast, ia mendapat pencerahan tentang bagaimana hubungan antar bagian dan hubungan secara menyeluruh. Sedangkan dari Wolf, ia mengembangkan sebuah konsep yang diistilahkan dengan “mengalami kembali”. Maksudnya, seorang penafsir harus mampu menyelami alam mental –tepatnya adalah pikiran- penulis (h. 36-37). Dengan kata lain, penafsir berusaha seolah-olah menjadi diri sang penulis.
Dalam rangka mengungkap ide genuine penulis, Schleiermacher mengenalkan dua model pendekatan yakni pendekatan gramatikal dan pendekatan psikologis. Kedua pendekatan ini, menurutnya, ada pada level yang sama dan mesti diterapkan secara bersamaan. Dalam arti bahwa kita memahami bahasa melalui pemakainya, dan pemakai bahasa dapat dipahami melalui bahasa yang dipakainya (h. 43). Baginya, semakin lengkap kompetensi linguistik seseorang dan kemampuan mengetahui penulis, berkontribusi besar terhadap keberhasilannya dalam seni memahami (baca: interpretasi).
Bagi Schleiermacher ada beberapa prinsip dan kaidah yang harus dipegang oleh seorang penafsir, di antaranya:
everything in a given utterance wich requires a more precise determination may only be determined from the language area wich is common to the author and his original audiences.
the sense of every in a given location must be determined according to its being together with those that surround it.
the vocabulary and the history of the area of an author related as the whole must un turn, be understood from the part.
Sementara itu, untuk menerapkan pendekatan psikologis, Schleiermacher menawarkan dua metode yakni metode divinatori dan metode komparasi.
Metode divinatori merupakan cara untuk memahami teks menggunakan intuisi. Artinya seorang penafsir berusaha mentransformasikan dirinya ke dalam mental orang lain dan mencoba memahaminya secara langsung. Sedangkan metode komparasi berarti penafsir berusaha membandingkan penulis dengan orang lain dengan asumsi bahwa mereka memiliki sesuatu yang universal.
Walhasil, Schleiermacher berhasil membangun pondasi bagi masa depan hermeneutik. Pemikirannya tentang hermneutika sebagai seni memahami dan usahanya untuk menanamkan benih-benih hermeneutik universal yang dapat diaplikasikan dalam berbagai objek mampu memberikan nuansa berbeda di jamannya. Namun, seiring berjalannya proses memahami Schleiermacher terhadap teks dan pikiran penulis di belakang teks, ia lebih menekankan pada aspek psikologis untuk dapat memahami lebih baik dari penulisnya, demikian analisa Heinz Kimmerle dan Hans George Gadamer yang menyebutnya sebagai psikologistis.
Daftar Pustaka
Fakhruddin Faiz, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Cet I, Jakarta:Paramadina, 1996
Friedrich Schleiermacher, Hermeneutics and Critism and Other Writings, ter. Andrew Bowie, Cambridge University Press, 1998
Gadamer, Truth and Methode, London-New York: Continuum, 2004
Harold H. Titus, dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat terj., Bulan Bintang, Jakarta: Bulan Bintang, 1984
Jean Grondin, Introduction to Philosophical Hermeneutics, New Haven: Yale University Press, 1991
John B. Cobb (ed). The New Hermeneutic, New York: Harper and Row Publisher, 1964
Mushadi HAM, Hermenutika Hadis-Hadis Hukum: Mempertimbangkan Gagasan Fazlur Rahman, Cet. I, Semarang: Walisongo Press
Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthney, Heideger, and Gadamer, Evanston: Northwestern University, 1996
Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan ‘Ulum al-Qur’an, Yogyakarta: Nawasea Press, 2009
Tim Penyusun Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Hermeneutika dan Fenomenologi: dari Teori ke Praktik, Surabaya: Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2007
ini sangat menarik ,, sangat, lanjutkan kang. sampai titik akhir.
BalasHapus