Minggu, 14 Oktober 2018

MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI NILAI ETIK AGAMA

MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI NILAI ETIK AGAMA
(Sebuah Upaya Menjawab de-religionisasi dalam Masyarakat Modern)
------------
Oleh: Khusni Mubarok M.Ag


MASYARAKAT MODERN

Tema sentral kehidupan manusia dewasa ini adalah soal modernitas. Pandangan-pandangan sosiologis banyak merumuskan tema ini.sebagian merumuskannya sebagai hasil dari konsep-konsep yang diturunkan dari mekanisme dunia pasar atau lazim diebut kapitalisasi. Dalam dimensi ini modernitas dimaknai sebagai nilai-nilai utama orientasi konsumsi (ekonomi) dan kekuasaan (politik).
Berbeda dengan rumusan di atas, modernitas dalam pandangan kaum weberian dimaknai sebagai proses rasionalisasi, kapitalisasi lahir dari ide-ide dimaksud, akal dalam pandangan weberian dipergunakan untuk tujuan-tujuan tertentu. Tampaknya rumusan ini menjadi tolak ukur penting dari seluruh gerak sosial kehidupan manusia dan kebudayaannya. Dari ide-ide atau gagasan-gagasan arasional inilah gerak menuju ekon omi berorientasi pasar (industri) dan penyatuan ke dalam kapitalis global (globalisasi) dimulai.
Pada aspek yg lebih jauh, rasionalisme tidak bisa tidak masuk pada ramnah mencari identitas ide yang terstruktur. Ia memaksa masuk pada wilayah-wilayah trans epistimologi,idiologi,budaya dan bahkan agama. Dalam pengertian kapling epistimologi yang bagaimanapun, idiologi dan budaya manapun termasuk agama bila berdiri sebagai antitesis rasionalitas harus di jebol paksa untuk mendapatkan tujuan-tujuannya. paham yang melunturkan sakralitas ketuhanan dan metafisika. Eksisitensi tuhan, wahyu, dan segala yang melekat pada frame absolutisme dan sakralitas secara perlahan namun pasti dipukul mundur (untuk tidak dikatakan “berdamai”) ke tepi kesadaran manusia. un sich, dalam upaya pencapain tujuannya,menghalalkan segala cara secara membabi buta menembus batas-pbatas norma etika dan agama sekalipun.
Rasionalisme-dengan paradigma positifisme dan empirisnya secara singkat ketika bersenggama dengan realitas institusi bangsa-bangsa menjelma menjadi faham sekularisme. Faham produk modernitas yang
memukul mundur agama dari wilayah social individu dan masyarakat dalam system. Dalam kancah
pertarungan idiologi dunia sekularisme telah berhasilmemberi jarak antara agama dan Negara.
Di Barat agama bertarung hebat dengan sains yang dianggapnya belenggu kemanusian.dus agama
sebagai Institusi, seperti gereja misalnya pada era renaisence abad XIV-XVI di Itali, German, Inggris dan
Prancis dituntut keras untuk me-reinterpretasi doktrin katolikisme tentang pembuangan uang dan arti
bunga bank.Agama dalam konteks ini “dipaksa dengan hormat” untuk tidak memberi jalan seluasluasnya
bagi masyarakat untuk mengatur gerak ekonomi nya sendiri tanpa intervensi paus pada Negaranegara
mereka sendiri, sekaligus semngat kuat mengotonomisasi ilmu dari posisi sebelumnya yang
absolut dan dogmatik.

SEKULARISASI DAN de-RELIGIONISASI

Sekularisasi dalam paradigma berfikir positivistic selain merupakan kemestian sejarah dalam masyarakt
bangsa yang rasional juga harus dilihat dalam paradigma empirik. Bagaimana tidak, sekularisasi dalam
pengertian demikian berpengaruh besar pada eksistensi kemanusian, dominasi ilmu pengetahuan dan
teknologi akan menyebabkan peranan agama tereduksi dalam proses-proses pengambilan keputusan
masyarakat, baik ekonomi, politik dan sebagainya. Proses sekularisasi juga dapat dilihat dalam bidang
politik misalnya, logika untuk tujuan-tujuan tertentu seringkali abai terhadap pertimbangan nilai etik
agama.contoh lain dapat dilihat dari sistem ekonomi yang “kurus” dari pertimbangan maslahat
ketimbang untung rugi.pertimbangan penghormatan terhadap hak asasi individu yang mengalahkan hak
asasi manusia sebagai mayoritas, dari maslaah perkawinan lintas agama,pornografi, kawin kontrak, sek
bebas prostitusi hingga lokalisasi, dan sejenisnya.
Krisis peran dan fungsi agama dapat di lihat dari menguatnya semangat pemberontakan ataerhadap
bangunan agama (institusionalized) yang dinilai menjadi penghalang gai eksistensi kemanusiaan. Harus
di akui bahwa dalam agama terdapat aspek-aspek konservatif yang memberikan rasa kesucian terhadap
tradisi dan keberlangsungannya. Karenanya agama seringkali bersikap menahan diri terhadap unsureunsur
sekularisme yang mungkin dinilai profan. Kalaupun terdapat aspek-aspek lain dalam agama yang
mendorong geliat transformasi perubahan namun tetap ada elemen-elemen tertentu dari agama yang
selalu menjaga kemapanannya. Masalahnya menjadi rumit ketika sekularisme masuk ke dalam sisitem
keyakinan individu-individu bangsa dalam relasinya sebagai makhluk beragama di satu sisi dan bagian
dari Negara di sisi lain.
Ketika sekularisasi berhasil membungkus agama menjadi “hanya” paket-paket informasi, urusan agama
adalah urusan pribadi dan bukan bagian kehidupan sosial, urusan agama adalah aurusan hari setelah
kematian, atau bahkan agama dianggap menbjadi nilai-nilai suplementer dan seabreg muatan-muatan
sekularisme lainnya maka sesungguhnya telah berlangsung proses objektivikasi dan rasionalisasi dalam
dunia agama. Al-hasil,ruh agama semakin menghilang. Sebagai konsekuensinbya, secara sosiologis
adaah bahwa kemajuan ekonomi,politik,soial dan budaya dapat di raih tapi kering dari nilai-nilai agama.
Seorang boleh mangaku beragama tapi abai pada kewajiban keberagamaannya, mengamini seks bebas
asal memakai kondom, menjadi ahli bidang agama tanpa menjadi religius, dan istilah lain yang serupa
untuk menggambarkan de-religionisasi dalam kehidupan manusia.

TRANSFORMASI NILAI ETIK

realitas yang abu-abu di atas sesungguhnya hanya tahapan ilustrasi dari persinggungan agama dengan
modernitas. Yang menjadi tema sentral dari kondisi ini adalah mengamini modernitas sebagai kemestian
tanpa harus mempertentangkannya dengan agama di sastu sisi sekaligus mempertegas posisi peran dan
fungsi agama diranah modernitas yang terus berjalan. Pendekatan paradigma post modernisme
nampaknya tidak cukup menyelesaikan persoalan mengingat sains dan teknologi berkutat pada respon
agama terhadap dampak positif dan negatifnya.
Yang lebih penting adalah kembali melakukan rekonstruksi nilai-nilai etik agama untuki lebih menjadi
pendorong modernitas tetapi juga menjadikan agama sebagai roh modernitas itu sendiri. Nampaknya
pendekatan Post Paradigmatik lebih layak diptimbangkan kembali. Agama harus dibedah melalui
kontektualisasi dinamisasi kehidupan manusia, dengan cara ini agama merespon semua problem sosial
pemeluknya dan menampakkan dirinya sebagai kekeuatan tempat “berbagi”. Tanpa itu-agama yang
selalu melangait- secara perlahan agama akan ditinggalkan untuk tidak dikatakan diacuhkan.
Agama, dengan pendekatan post Paradigmatik ini diupayakan dapat me-rekontruksi sistem nilai etik di
dalamnya. Menariknya sedikit masuk pada wilayah-wilayah falsafah humanisme sosial yang dimiliki
agama. Mengingat pertama, agama dapat mengintegrasikan sains dan teknologi tanpa harus menjadi
antitesis, tak ada alasan bagi manusia untuk pobia terhadap rasionalisme dan positifisme yang akan
mengarahkan manusia pada sekularitas, karena justru agama mampu menadopsi ilmu engetahuan dan
teknologi tanpa harus mengalami kontradiksi.
Kedua, dalam struktur agama tidak di kenal dikotomi antara dimensi keduniaan dan dimensi akhirat,
keduanya di integrasikan dalam dimensi keseimbangan, konsep di dalam agama bukan melulu teologi,
sehingga karakter inklusifitas dalam beragama hanya akan membawa manusia semakin jauh dari
pembumian nilai-nilai humanisme teosentris agama.
Tugas Agama berikutnya adalah mempertegas keberadaannya sebagai system keyakinan yang terbuka
bagi penataan kehidupa social ,ekonomi, politik dan budaya. Menjadi panduan dus memberikan
jawaban sekaligus. Agama harus mampu melakukan transformasi social dengan nilai-nilai etiknya
dengan harapan agar manusia siap menghadapi semua bentuk tantangan modernitas yang terus
berjalan.wallahua’lam.
-----
Indramayu, 30/08/2018
(Penulis adalah Pemerhati Sosial, tercatat sebagai Dosen STID ALBIRUNI CIREBON)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar